Cita cita Guru tercapai setelah jadi dokter
Prof. Hr. R. Hariadi Spog (K) terlahir dari keluarga guru. Ayah dan ibunya R. Tamat dan Rr. Suparti Mursutji, semasa hidup adalah pendidik. Tidak hanya itu, banyak kakak dan adikd ari ayah dan ibunya yang berprofesi sebagai guru. Karena itu, ketika masih kecil, dia ingin mengikuti jejak keluarga besarnya tersebut.
Kakek empat cucu itu akhirnya berhasil mencapai cita-citanya meski melalui jalur yang ‘tidak biasa’. Sejak 1964 atau setahun menyandang gelar dokter, Hariadi didapuk sebagai dosen, yang notabene adalah seorang pendidik, di almamaternya, Universitas Airlangga (UNAIR). “Kesampaiannya juga jadi guru meski harus jadi dokter dulu,”ujarnya
Mantan dekan Fakutlas Nongelar kesehatan Unair itu menceritakan tentang asal muasal dirinya menjadi seorang ahli medis. Setelah tamat SMA Pada 19955, dia mendaftar pada tiga universitas. Yaitu, FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang yang saat itu, kata hariadi, cabang Unair. Dia juga mendaftar di ITB (Institut Teknologi Bandung) dan FK Unair. “Saya diterima di ketiganya,” cetusnya.
Hariadi memilih ITB. Pada awal kuliah, belum ada penjurusan. Hanya satu tingkat dia merasakan bangku kuliah di Kota Kembang. “Faktor biaya jadi penyebab. Padahal, saya sudah merencanakan kuliah di fakultas MIPA (Matematika dan IPA) Agar bisa menjadi guru.” Tuturnya.
Sejak usia 9 tahun, Hadiari menjadi yatim setelah bapaknya meninggal. Untuk kuliah, dia mendapat sokongan dari kakak pertamanya, Etty Setyowati, yang saat itu mengajar di SMPN 2 Surabaya. “Nah, kakak saya itu mau membiayai, tapi saya harus kuliah di Surabaya,”. Ceritanya.
Hariadi akhirnya boyongan ke Surabaya dan kembali mendaftar ke FK Unair. Dasar memang pinter, dia diterima lagi di salah satu kampus elite di Indonesia tersebut. Meski tidak sesuai cita-cita sebagai guru. Hariadi tetap belajar dengan sungguh-sungguh dan serius. Itu yang membuatnya bisa memperoleh beaisswa ikatan dinas pada tahun kedua,. “Ikatan dinas lumayan. Saat itu, cukup untuk beli buku, mondok, dan biaya kuliah lain,” ucapnya.
Pada 1963 Hariadi lulus. Semula dia ingin berkarier sebagai dokter. Tapi, salah seorang guru besar FK Unair Prof. Haryono memintanya untuk menjadi asisten dosen. Dia setahun kemudian, dia diangkat menjadi dosen. “Jadi, saya tetap menjadi pendidik, meski jalurnya tidak seperti umumnya,” ujar spesialis obstetri dan ginekologi tersebut.
Setelah 40 tahun menjadi dokter dan dosen, Hariadi mengatakan, dua profesi itu tidak jauh berbeda. Keduanya ebrtujuan mendidik. Guru atau dosen mengajar kepada murid, sedangkan dokter kepada pasien. “Dokter tidak hanya memberikan resep kepada pasien. Tapi juga memberikan pendidikan kepada pasien agar dapat menjaga kesehatan.” Tuturnya.
Namun, lanjut dia, memang ada perbedaan mencolok dari dua profesi tersebut jika dilihat dari segi finansial. Dia sangat merasakan gap pendapatan antara dosen atau guru dan dokter. Hariadi mencontohkan,seorang dokter, khususnya yang punya gelar speasialis, bisa dengan mudah memiliki mobil-mobil bermerek.
Sebalikna, jika mengandalkan gaji dosen, hal itu sangat sulit diraih. Karena itu, banyak dosen fakultas kedokteran yang mengesampingkan tugas sebagai pendidik. Mereka mengutamakan profesi. Semestinya, mereka memberi waktu yang ebrimbang. Sebab, tanggung jawab kedua profesi itu sama-sama berat,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar