Mungkin Ini Yang Bisa Saya Bagi Kepada Anda
Jika Kurang Berkenan Dengan Artikel Yang Saya Posting, Saya Menghaturkan Maaf, Bila Anda Puas Dan Senang Dengan Artikel Saya Sudah Selayaknya Anda Bisa Berbagi Kepada Anak Yatim Piatu Atau Tetangga Anda Yang Kurang Mampu. Saya yakin dengan berbagi, masalah atau hal yang kita kerjakan akan cepat selesai.

Sabtu, 02 Agustus 2008

Kota Pasuruan


SEJARAH KOTA PASURUAN


PASURUAN adalah kota Bandar kuno. Pada jaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.

Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.

Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.

Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).

Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) himgga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).

Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686 Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.

Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.

Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan Kota Pasuruan.

Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).

Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.

Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bangil.

Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel Surabaya. Pada saat dihadiahkan Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).

Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).

Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809 Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.

Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.

Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.

"SURA Dira Satya Pati". Sebuah moto dari bahasa Jawa Kawi yang artinya, berani teguh hati dan setia kepada pemimpin negara dan agama. Moto tersebut rupanya mengambil sifat-sifat kepahlawanan seorang tokoh sejarah Kota Pasuruan, Untung Suropati.

Bila dikaitkan dengan karakter masyarakat Pasuruan, agaknya moto yang tertulis di lambang Kota Pasuruan itu tepat pula untuk menggambarkan peristiwa aksi massa yang terjadi tanggal 27-30 Mei 2001. Bentrokan antara aparat keamanan dan massa pendukung Presiden Abdurrahman Wahid tak terhindarkan. Situasi politik nasional saat itu sangat berpengaruh terhadap massa di tingkat bawah. Terlebih perilaku elite politik terhadap Abdurrahman Wahid, bagi pendukung loyal-sebagian besar dari Jawa Timur yang dikenal sebagai basis utama Nahdlatul Ulama-sangat menyakitkan. Aksi massa yang merupakan imbas dari konflik elite politik di tingkat atas itu mengakibatkan rusaknya sejumlah sarana sosial, sarana umum, dan rumah ibadah. Aktivitas ekonomi di kota ini pun sempat lumpuh dan terhenti.

Masyarakat Pasuruan dikenal memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Sebagian besar bekerja di sektor swasta ataupun berwiraswasta. Dari total 68.060 tenaga kerja, 22,83 persen bekerja di lapangan perdagangan dan 22,78 persen di usaha industri pengolahan. Selebihnya tersebar di berbagai lapangan usaha lain.

Bisa dibilang Kota Pasuruan adalah daerah industri dan perdagangan karena kedua sektor itu menjadi motor penggerak ekonomi kota. Kontribusi sektor perdagangan-tanpa hotel dan restoran-sebesar Rp 209,39 milyar merupakan sumbangan terbesar bagi kegiatan ekonomi kota. Berikutnya sektor industri pengolahan sebesar Rp 148,02 milyar.

Letaknya yang berada di persimpangan jalur regional Surabaya-Probolinggo-Malang, sangat strategis dalam memberi kontribusi pada lapangan industri dan perdagangan. Di samping juga menambah pemasukan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satunya melalui penarikan retribusi terminal. Tahun 2000 retribusi terminal Rp 440,06 juta, sekitar 14 persen dari total pos retribusi daerah Rp 3,15 milyar.

Wilayah Pasuruan yang berada di tepi pantai menghadap ke Selat Madura juga cocok sebagai tempat pemasaran hasil industri dan perdagangan, terutama tempat pemasaran komoditas dari daerah lain di bagian selatan Pasuruan sebelum dipasarkan ke Surabaya. Sebuah pelabuhan antarpulau yang cukup ramai untuk angkutan komoditas perdagangan berada di sana. Ramainya aktivitas pelabuhan tampak dari banyaknya kapal yang tiba dan berangkat. Sebanyak 1.559 kapal di tahun 2000 hilir mudik mengangkut berbagai komoditas. Yang sangat dominan adalah kayu, 186.656 meter kubik untuk bongkar, dan 1.201 ton beras untuk dimuat keluar Pasuruan.

Sejak tahun 1990-an, mesin utama penggerak pembangunan di Jawa Timur bergeser dari sektor pertanian ke sektor industri. Sejalan dengan perubahan itu, perkembangan sektor industri di Kota Pasuruan juga terus meningkat, baik dari jumlah, penyerapan tenaga kerja, investasi, maupun nilai produksi. Banyaknya jenis industri yang didirikan sudah tentu berpengaruh terhadap besarnya investasi yang ditanam. Industri kecil menjadi andalan. Tahun 2000 saja total investasi kelompok industri kecil Rp 865,76 milyar, jauh lebih besar dibanding tahun sebelumnya Rp 137,89 milyar. Industri kecil yang jumlahnya 2.509 unit bergerak di berbagai jenis usaha. Terbanyak bergerak di usaha industri kerajinan. Investasinya Rp 217,29 milyar atau 25,10 persen dari total investasi. Jenis industri kecil kerajinan pula yang menjadi penyumbang nilai produksi terbesar, yakni 60,29 persen atau senilai Rp 368,67 milyar dari total nilai produksi Rp 661,55 milyar.

Berbagai jenis industri kecil memang banyak berkembang di kota ini, mulai dari furniture, kerajinan kayu, suku cadang/komponen mesin diesel, suku cadang/komponen perahu bermotor, hingga industri kecil cor dan logam. Masing-masing jenis industri kecil ini masih bisa dipilah-pilah lagi menurut macamnya. Kerajinan mebel kayu jati misalnya, dijumpai di Desa Sebani, Gentong, Bukir, Krapyakrejo, Patahunan dan Randu di Kecamatan Gadingrejo.

Menyadari potensi besar industri kecil, Pemerintah Kota Pasuruan memberi perhatian penuh bagi perkembangannya. Dana yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2001 untuk belanja pembangunan sektor industri Rp 1,64 milyar, dan yang terealisasi Rp 1,51 milyar. Namun, pada target APBD tahun 2002, anggaran belanja pembangunan sektor industri Rp 1,14 milyar. Berarti, ada penurunan sekitar 30 persen. Apakah ini bisa diartikan sektor industri makin mandiri?

Industri kecil dan menengah memang masih terus mendapat binaan hingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas ekspor. Beberapa produk kini menembus pasaran mancanegara. Komoditas kerajinan kayu, furniture, dan kayu olahan mendominasi produk ekspor, terutama ke Malaysia, Jepang, dan Perancis. Total ekspor ketiga komoditas itu di tahun 2001 sebesar 2,92 juta dollar AS. Belum lagi produk lainnya. Total ekspor tahun 2001 mencapai 3,30 juta dollar AS.

Apakah seluruh aktivitas ekonomi kota ini berpengaruh pada pendapatan per kapita penduduk? Pendapatan per kapita penduduk Kota Pasuruan tahun 2000 sebesar Rp 3,59 juta. Ada peningkatan dibanding tahun sebelumnya, walaupun masih di bawah rata-rata pendapatan per kapita Jawa Timur, Rp 5,13 juta.

Namun, bila melihat Rencana Strategis (Renstra) Kota Pasuruan tahun 2002, optimistis pendapatan per kapita penduduk akan terus meningkat. Sebab, salah satu sasaran renstra adalah meningkatkan produksi dan produktivitas hasil industri kecil dan menengah,

serta menumbuhkembangkan usaha kecil menengah. Upaya yang baik itu bisa berjalan bila situasi kota aman. Kelak tak perlu lagi ada aksi massa yang sampai melumpuhkan aktivitas ekonomi kota, yang sudah tentu akan menghambat rencana yang telah ditetapkan.

dihimpun dari website pemerintah kota pasuruan

2 komentar:

  1. sejarah mengenai kota pasuruan yang anda sajikan cukup lengkap, tetapi ada yang saya tanyakan mengenai pengaruh belanda pada saat menduduki kota pasuruan. Apakah pembangunan fisik kota pasuruan juga melibatkan belanda???, karena beberapa bangunan di ruas jalan di pasuruan seperti di jalan pahlawan banyak terdapat bangunan yang bergaya arsitektur belanda

    BalasHapus

POSTING TERBARU