Pengertian Gambut
Pusat Penelitian Tanah (1990) mengemukakan bahwa tanah gambut atau Organosol adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H, setebal 50 cm atau lebih atau dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g cm-3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50 cm bila terletak diatas batuan padu.
Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau Histosol (PPT, 1981).
Proses Pembentukan Gambut
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah.
Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada: 1). proses penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut, 2). proses kecepatan perombakan gambut, 3). proses kebakaran gambut, dan 4). Perilaku manusia terhadap lahan gambut.
Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk kategori kawasan lindung sebagai kawasan yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia.
Berdasarkan besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang pengembangan, maka rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius. Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya sukar diatasi. Prodiktifitas gambut sangat beragam, ketebalan gambut juga menentukan kesuburannya (Barchia, 2006).
Tingkat Kematangan Gambut
Menurut Soil Survey Staff (1990), bahwa tingkat kematangan atau tingkat pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan asalnya. Tingkat kematangan terdiri dari tiga katagori yaitu fibrik, hemik dan saprik.
Tingkat kematangan tanah gambut dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan dengan cara mengambil segenggam tanah gambut dan memersnya dengan tangan. Kriteria mentah atau matang dari gambut dapat ditunjukkan dengan melihat hasil cairan dan sisa bahan perasan.
Ketentuan dalam menentukan kematangan gambut untuk masing-masing katagori adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kematangan fibrik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga per empat bagian atau lebih (>3/4).
2. Tingkat kematangan hemik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga per empat sampai seperempat bagian atau lebih (<3/4 - >1/4).
3. Tingkat kematangan saprik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah kurang dari seperempat bagian (<1/4).
Kadar abu dapat dijadikan gambaran kesuburan tanah gambut. Kadar abu tanah gambut beragam antara 5% - 65%. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Makin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu gambut sangat dalam (tebal >3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar 11% -12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001). Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai hubungan dengan tingkat kematangan gambut. Gambut mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar bahan organik 45,9%. Sedangkan gambut hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan kadar bahan organik 51,7% dan gambut matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04% dengan kadar bahan organik 78,3% (Setiawan, 1991).
Klasifikasi Tanah Gambut
Menurut Sistem Klasifikasi Tanah, tanah gambutdikelompokkan dalam ordo Histosol. Disebut tanah gambut jika memenuhi kriteria sebagai berikut.
1. Jika dalam keadaan jenuh air dengan genangan dalam priode yang lama (sekalipun dengan adanya pengatusan buatan) dan dengan meniadakan akar-akar tanaman hidup, mengandung:
a. 18% bobot karbon organik (setara dengan 30% bahan organik) atau lebih jika mengandung fraksi lempung sebesar 60% atau lebih, atau
b. 12% bobot karbon organik (setara dengan 20% bahan organik) atau lebih jika tidak ada kandungan fraksi lempung, atau
c. 12% + (lempung dengan kelipatan 0,1 kali) persen bobot karbon organik atau lebih, jika mengandung fraksi lempung <60%, atau
2. Jika tidak pernah tergenang, kecuali beberapa hari dan mengandung 20% bobot atau lebih karbon organik.
Tanah gambut dibagi atas empat sub-ordo: folist, fibrist, hemist, dan saprist. Umumnya, gambut yang tergolong folist adalah gambut yang berasal dari dataran tinggi, sedangkan kelompok utama lainnya adalah gambut yang berasal dari dataran rendah. Selanjutnya, pengelompokan ke dalam group menggunakan kriteria penciri berupa regim suhu tanah.
Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, gambut dipilah dalam empat kategori yaitu gambut dangkal, tengahan, dalam, dan sangat dalam.
1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50 – 100 cm.
2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100 - 200 cm.
3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200 – 300 cm.
4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara >300 cm.
Menurut Polak (1914) dalam Wirjodihardjo (1953) tanah gambut di Indonesia dapat dibedakan menjadi gambut ombrogin, gambut topogin dan gambut pegunungan.
Gambut Ombrogin adalah jenis gambut yang tersebar di dataran rendah rawa lebak dan pantai yang tersebar luas di Indonesia yang meliputi 16,5 juta hektar dan Sumatera mempunyai luasan sekitar 7,5 juta hektar. Ketebalan gambut berkisar antara 0,5 hingga 16 meter yang terbentuk dari sisa-sisa vegetasi hutan rawa yang membusuk menjadi bahan yang berwarna kecoklatan. Gambut ini mempunyai sifat jenuh air, bereaksi masam, miskin bahan mineral terutama kapur, air berwarna hitam kecoklatan dan terdapat rhizopoda. Kadar hara N, P dan K cukup tinggi.
Gambut Topogin adalah gambut yang terbentuk pada depresi topografi rawa terutama di Pulau Jawa. Daerah penyebaran gambur topogin adalah tidak luas dan setempat-setempat, misalnya di Rawa Pening, Rawa Lakbok, Rawa Jatiroto, Deli, Kalimantan Selatan dan Pangandaran.
Gambut Pegunungan adalah gambut yang terbentuk di dataran tinggi pegunungan, dengan kondisi iklim hampir sama dengan iklim daerah sedang dan dengan vegetasi dominan adalah tanaman tingkat rendah. Di Indonesia gambut Pegunungan dapat dijumpai di dataran tinggi Dieng, puncak Papandayan, dan Pangrango. Vegetasi utama di Gambut Pengunungan tersebut adalah Hydrophyta dan Cyperaceae.
Klasifikasi gambut berdasarkan bahan induk dapat digolongkan menjadi Gambut Endapan, Gambut Berserat dan Gambut Berkayu.
Gambut Endapan adalah akumulasi bahan organik diperairan dalam sehingga pada umumnya dijumpai dibagian bawah dari suatu profil organik. Gambut endapan dibentuk dari bahan tanaman yang mudah dihumifikasikan. Gambut endapan tidak disenangi sebagai tanah karena sifat fisiknya yang tidak menguntungkan sehingga gambut ini tidak diusahakan. Gambut endapan berasal dari campuran tanaman leli air, rumputan air, hornworth, plankton, dan lainnya.
Gambut Berserat adalah akumulasi bahan organik berbagai sedge, lumut-lumutan, hepnum, reed dan rumpulan lainnya, latifolia dan angustifolia. Sejumlah gambut berserat sering dijumpai pada rawa dimana gembut endapan berada. Gambut ini mempunyai sifat fisik yang baik akibat sifat serat dan filamennya. Gambut berserat dapat juga dijumpai dipermukaan dari akumulasi bahan organik.
Gambut Berkayu adalah gambut dengan bahan penyusun utamanya adalah pohon-pohonan desidius, konifer dan tumbuhan dibawahnya. Pohon-pohonan banyak tumbuh di daerah rawa, sehingga gambut ini banyak dijumpai di lahan rawa. Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam bila basah, dan warna ini sangat tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut berkayu terbentuk dari sisa pohon, semak dan tumbuhan lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar