Mungkin Ini Yang Bisa Saya Bagi Kepada Anda
Jika Kurang Berkenan Dengan Artikel Yang Saya Posting, Saya Menghaturkan Maaf, Bila Anda Puas Dan Senang Dengan Artikel Saya Sudah Selayaknya Anda Bisa Berbagi Kepada Anak Yatim Piatu Atau Tetangga Anda Yang Kurang Mampu. Saya yakin dengan berbagi, masalah atau hal yang kita kerjakan akan cepat selesai.

Kamis, 20 Mei 2010

Defenisi anemia

Defenisi anemia

Istilah anemia mengacu pada suatu kondisi dimana terdapat penurunan konsentrasi hemoglobin, jumlah sel darah merah (SDM) sirkulasi, atau volume sel darah tanpa plasma (hematokrit) dibandingkan dengan nilai-nilai normal.(Tambajong; 2000: 77)

Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar hemoglobin ( Hb ) dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37 % pada wanita. (Kapita Selekta ; 2001: 547)

Anemia adalah penurunan kuiantitas dan kualitas sel – sel darah merah timbul apabila sel darah merah berukuran terlalu kecil (mikrositik) dan terlalu besar (makrositik)(Elizabeth. J. corwin ;2001;119).

Karakteristik Morfologis
Karakteristik morfologis Sel Darah Merah biasanya digunakan dalam klasifikasi anemia. Istilah yang digunakan termasuk :
1. Normokrom/normosik dimana ukuran dan warna SDM normal diberikan oleh konsentrasi hemoglobin.
2. Mikrositik/hipokrom ; Penurunan ukuran dan warna SDM disebabkan oleh ketidakadekuatan konsentrasi hemoglobin
3. Makrositik ; SDM ukuran besar
4. Anisositosis L ; Variasi ukuran SDM
5. Polikilositosis ; Variasi bentuk SDM
Perubahan pada ukuran SDM atau kandungan hemoglobin umum terjadi pada anemia yang berhubungan dengan defisiensi besi, folat atau vitamin B12. Bentuk sel memberikan petunjuk bermanfaat dalam mendiagnosis abnormalitas membran yang diwariskan, anemia hemolitik dan hemoglobinopatis. (Tambjong; 2000: 78)

Perjalanan Penyakit
Patofisiologi anemia terdiri dari :
1. Penurunan produksi : anemia defisiensi, anemia aplastik, dll.
2. Peningkatan penghancuran ; anemia serena perdarahan, anemia hemolitik, dll. (Kapita Selekta ; 2001: 547)

Pembagian Anemia
1. Anemia mikrositik hipokrom
a. Anemia defesiensi besi
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg perhari, dari jumlah ini hanya Kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 g, Kira-kira 50mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Umumnya akan terjadi anemia dimorfik, karena selain kekurangan Fe juga terdapat kekurangan asam folat.

b. Etiologi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis). Infeksi cacing tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyebab lain dari anemia defisiensi besi adalah :
1) Diet yang tidak mencukupi
2) Absorbsi yang menurun
3) Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi
4) Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah
5) Hemoglobinuria
6) Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru

c. Manifestasi klinis
Selain gejala –gejala umum anemia., defesiensi Fe yang berat akan mengakibatkan perubahan kulit dan mucosa yang progresif, seperti lidah yang halus, keilosis dan sebagainya didapatkan tanda-tanda malnutrisi.

d. Pemeriksaan penunjang
Defesiensi Fe berlangsung secara bertahap dan lambat. Pada tahap pertama yang terjadi adalah penurunan simpanan Fe. Terjadi anemia tetapi Belum terjadi perubahan pada usuran sel darah merah. Feritin serum menjadi rendah, kurang dari 30 mg/l, sementara Total Iron Blinding Capacity (TIBC) serum meningkat. Setelah simpanan Fe habis, produksi sel darah merah tetap dilakukan. Fe serum akan mulai menurun, kurang dari 30 mg/dl,dan saturasi transferin menurun hingga kurang dari 15%.
Pada tahap awal Mean Corpuscular Volume (MCV) tetap normal. Pada keadaan lanjut MCV mulai menurun dan ditemukan gambar sel mikrositik hipokrom. Kemudian terjadi anisositosis diikuti dengan poikilositosis.
Didapatkan sel darah merah yang mokrositik hipokrom. Serum Iron (SI) menurun, sedangkan Iron Blinding Capacity (IBC) bertambah. Tanda patogmonik adalah tidak ditemukannya hemosiderin dalam sum-sum tulang atau serum feritin < 12mg/l. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pembuktian keadaan defesiensi Fe atau evaluasi dari hasil terapi sulplemen Fe.
Untuk mendiagnosis ankilostomiasis perlu pemeriksaan tinja. Untuk mengetahui beratnya infeksi perlu dihitung jumlah telur per gram tinja.

e. Penatalaksaanaan
1) Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan anti perdarahan yang sesuai.
2) Pemberian preparat Fe :
(a) Fero sulfat 3x 325 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikan secara bertahap. Pada pasien yang tidak kuat, dapat diberikan bersama makanan.
(b) Fero glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan sehingga tidak dapat diberikan oral, dapat diberikan secara parenteral dengan dosis 250 mg Fe (3 mg/kg BB) untuk tiap g% penurunan kadar Hb dibawah normal.
(c) Iron dekstran mengandung Fe 50 mg/ml, diberikan secara intramuskuler mula-mula 50 mg. Kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total sesuai perhitungan. Dapat pula diberikan intravena, mula-mula 0,5 ml sebagai dosis percobaan. Bila dalam 3-5 menit tidak menimbulkan reaksi, boleh diberikan 250-500 mg.

2. Anemia pada penyakit kronik
Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with reticuloendothelial sid erosis. Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia terbanyak kedua setelah anemia defisiensi yang dapat ditemukan pada orang dewasa di Amerika Serikat.

a. Etiologi
1) Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru (bronkiektasis, abses, empiema, dll)
2) Inflamasi kronik, seperti artritis reumatoid
3) Neoplasma, seperti limfome malignum dan nekrosis jaringan

b. Manifestasi klinis
Berat ringannya anemia berbanding lurus dengan aktivitas penyakit. Hematokrit biasanya berkisar antara 25-30 %, biasanya normositik atau normokrom. Apabila disertai dengan penurunan kadar besi dalam serum atau saturasi transferin, anemia akan berbentuk hipokrom penurunan kadar besi dalam serum

c. Penatalaksanaan
Terapi terutama ditujukan pada penyakit dasarnya. Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan tranfusi darah merah (packed red cell) seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi, tidak diindikasikan, kecuali untuk mengatasi anemia pada artritis reumatoid. Pemberian kobalt dan eritropoeiten dikatakan dapat memperbaiki anemia pada penyakit kronik.

3. Anemia makrositik
a. Anemia defesiensi asam folat
Asam folat terutama terdapat pada daging, susu dan daun-daun yang hijau. Umumnya berhubungan dengan malnutrisi. Penurunan absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi disaluran cerna. Juga berhubungan dengan sirosis hepatis. Karena terdapat penurunan cadangan asam folat.

b. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda pada anemia defesiensi asam folat sama dengan anemia defesiensi vitamin B12, yaitu anemia megaloblastik dan perubahan megaloblastik pada mucosa, mungkin dapat ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti gangguan kepribadian dan hilangnya daya ingat.

c. Pemeriksaan penunjang
Gambaran darah seperti anemia pernisiosa, tetapi kadar vitamin B12 serum normal dan asam folat serum rendah, biasanya kurang dari 3 mg/dl. Yang dapat memastikan diagnosis adalah kadar folat sel darah merah kurang dari 150 mg/dl.

d. Penatalaksanaan
Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian/suplementasi asam folat oral 1 mg per hari.

4. Anemia karena perdarahan
Anemia karena perdarahan terbagi atas :
a. Perdarahan akut
Mungkin timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian.
1) Penatalaksanaan
(a) Mengatasi perdarahan
(b) Mengatasi renjatan dengan tranfusi darah atau pemberian cairan per infus.

b. Perdarahan kronik
Pengeluaran darah biasanya sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui pasien. Penyebab yang sering antara lain ulkus peptikum, menometroragi, perdarahan saluran cerna karena pemakaian analgetik dan epistaksis. Di Indonesia sering karena infestasi cacing tambang.
1) Pemeriksaan laboratorium
Gambaran anemia sesuai anemia defisiensi Fe. Perdarahan pada saluran cerna akan memberikan hasil positif pada tes benzidin dari tinja.
2) Penatalaksanaan
(a) Mengobati sebab perdarahan
(b) Pemberian preparat Fe

5. Anemia hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah (normal 120 hari), baik sementara atau terus menerus. Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila kemampuannya terganggu oleh sebab lain.

a. Etiologi
Etiologi anemia hemolitik dibagi sebagai berikut :
1) Intrinsik
(a) Kelainan suatu membran, seperti sferositosis herediter hemoglobinuri noktural paroksimal.
(b) Kelainan glicólisis, seperti defisiensi piruvat kinase
(c) Kelainan suatu enzim, seperti defesiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
(d) Hemoglobinopati, seperti penyakit anemia sel sabit, methemoglobinemia

2) Ekstrinsik
(a) Gangguan sistim imun, seperti pada penyakit autoimun, penyakit limfoproliveratif, keracunan obat
(b) Mikroangiopati, seperti pada purpura trombotik trombositopenik, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
(c) Infeksi, seperti plasmodium, klostridium, borrelia
(d) Hipersplenisme
(e) Luka bakar

3) Manifestasi klinis
Tanda-tanda terjadimya hemolisis akibat antara lain ikterus dan splenomegali

4) Pemeriksaan penunjang
Terjadi penurunan kadar hematokrit, retikulositosis, peninggian bilirubun indirek dalam darah dan peningkatan bilirubin total sampai dengan 4 mg/dl, peninggian urobilinogen urin, dan eritropeoisis hiperaktif dalam sumsum tulang.

5) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksik-imunologik yang didapat diberikan kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklosfosfamid.

6. Anemia aplastik
Terjadi karena ketidak sanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah.
a. Etiologi
Penyebabnya bisa kongenital (jarang), idiopatik (kemungkinan autoimun), LES, kemoterapi, radioterapi, toksin, seperti benzen, toluen, insektisid, obat-obat seperti kloramfenikol, sulfonamid, analgesik (pirozolon), antiepileptik (hidantoin), kinakrin, dan sulfonilurea, pascahepatitis, kehamilan dan hemoglobinurea paroksimal noktural.

b. Manifestasi klinis
Pasien tampak pucat, lemah, mungkin timbul demam, purpura dan perdarahan.

c. Pemeriksaan penunjang
Terdapat pansitopenia, sumsum tulang kosong diganti lemak, dan retikulosit menurun. Pada pasien dengan anemia aplastik yang berat ditemukan neutrofil kurang dari 500 ml, trombosis kurang dari 20.000/ml, retikulosit kurang dari 1%, dan kepadatan selular sumsum tulang kurang dari 20%.

d. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya. Berbagai tehnik pengobatan dapat dilakukan, seperti ;
1) Tranfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan trombosit, berikan darah segar atau platelet concentrate.
2) Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi
3) Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat
4) Androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon, dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati, dan efek amenore
5) Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin, dll menyarankan penggunaannya pada pasien > 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat tranfusi berulang.
6) Transplantasi sumsum tulang

1 komentar:

POSTING TERBARU