Pengertian Tanah Ulayat.
Undang-undang Pokok Agraria tidak menyebutkan penjelasan tentang
Hak Ulayat yang dalam kepustakaan hukum adat disebut beschikkingsrecht.
Maria
S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta : Kompas,
2005) Hal. 55
Hak
Ulayat sebagai istilah teknis yuridis yaitu hak yang melekat sebagai kompetensi
khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan
mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun keluar (Laporan
penelitian integrasi Hak Ulayat ke dalam yurisdiksi UUPA, Depdagri – Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 1978).
Imam
Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Jogjakarta
: Liberty ), Hal.1
Secara
teoritis pengertian antara masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat berbeda.
Kusumadi Pujosewojo mengartikan masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat
yang menetapkan, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan
mayarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah
tertentu yang beridirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa
yang lebih tinggi atau penguasa lainnya dengan rasa solidaritas yang lebih
besar diantara sesame anggota yang memandang bukan sebagai anggota masyarakat
orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagaii sumber kekayaan yang hanya
dapatdimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.
Ibid Hal.56
Dengan
demikian Hak Ulayat menunjukkan hubungan hukum antara mayarakat hukum sebagai
subyek hak dan tanah / wilayah tertentu sebagai objek hak.
Hak Ulayat berisisi wewenang untuk
:
I.
Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah
(untuk pemukiman, bercocok tanam),
persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru) dan pemeliharaan tanah.
II.
Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara
orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada objek tertentu)
III.
Menetapkan hubungan hukum antara orang-orang
dengan perbuatanperbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli,
warisan).
Hubungan
antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan menguasai,
bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dan
tanah menurut Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pengertian Hak Ulayat lebih lanjut merupakan serangkaian wewenang
dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya. Sebagai pendukung utama penghidupan di kehidupan
masyarakat yang bersangkutan.
Mengenai
eksistensi Hak Ulayat, UUPA tidak memberikan criteria mengenai eksistensi hak
ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental
diatas, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak
ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni:
1.
Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi
ciri-ciri tertentu, sebagai subyek hak ulayat;
2.
Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu
sebagai Lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat; dan
3.
Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana diuraikan diatas.
Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas,2001),hal.57
Dipenuhinya persyaratan tersebut
secara kumulatif, kiranya cukup obyektif sebagai kriteria penentu masih ada
atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada masyarakat hukum dan
ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, makahak ulayat dapat
dikatakan sudah tidak ada lagi. Sementara itu, Boedi Harsono, mengemukakan
bahwa hak dan kewajiban hak ulayat masyarakat hukum adat mengandung dua unsur
yaitu:
1.
Mengandung hak kepunyaan bersama para anggota
warganya, yang termasuk bidang hukum perdata.
2.
Mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur
dan memimpin pengusaan, pemeliharaan, peruntukkan dan pengguanaannya yang
termasuk bidang hukum publik.
Subyek
dan Obyek Hak Ulayat serta Cara terjadinya.
Menurut Boedi Harsono subyek
Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah tertentu.
Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1.
Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para
warganya bertempat tinggal di tempat yang sama.
2.
Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan
para warganya terikat oleh pertalian darah.
Selanjutnya, Bushar Muhamad mengemukakan obyek
Hak Ulayat meliputi:
a.
Tanah (daratan)
b.
Air (perairan seperti : kali, danau, pantai,
serta perairannya)
c.
Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon
buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).
d.
Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.
Hak ulayat mempunyai sifat berlaku keluar ke dalam. Maka kewajiban
yang pertama penguasa adat yang bersumber pada hak tersebut adalah memelihara
kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat hukumnya, mencegah terjadinya
perselisihan dalam pengguanaan tanah dan jika terjadi sengketa ia wajib
menyelesaikannya. Memperhatikan hal tersebut maka pada prinsipnya penguasa adat
diperbolehkan mengasingkan atau mengalihkan seluruh atau sebagaian tanah
wilayahnya kepada siapapun. Hal ini mengandung arti bahwa, ada pengecualian,
dimana anggota masyarakat hukum adat diberikan kekuasaan untuk menggunakan tanah
yang berada pada wilayah hukumnya. Agar tidak terjadi konflik antara warga maka
perlu memberitahukan hal tersebut kepada penguasa adat yang tidak bersifat
permintaan ijin membuka tanah. Keadaan inilah yang disebut dengan kekuatan
berlaku ke dalam.
Sedangkan terhadap sifat berlaku keluar adalah hak ulayat dipertahankan
dan dilaksanakan oleh penguasa adat dari masyarakat hokum adat yang
bersangkutan terhadap orang asing atau bukan anggota masyarakat yang bermaksud
ingin mengambil hasil hutan atau membuka tanah dalam wilayah hak ulayat
tersebut.
Menurut Boedi Harsono, hak ulayat sebagai hubungan hukum konkrek
pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan gaib, pada
waktu meninggalkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan
kelompok tertentu. Hak Ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya.
Karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan yang satu-satunya
mempunyai Hak Ulayat. Bagi sesuatu masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat
bisa tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi
masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah induknya
sebagai tanah ulayatnya
Konsepsi Hak Ulayat Menurut Hukum Adat
Konsepsi Hak Ulayat menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai
konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara
indivisual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak
bersama para anggota masyakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan
hukum adat disebut Hak Ulayat.
Pengertian terhadap istilah Hak Ulayat lebih lanjut
ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan-kawannya yang menyatakan bahwa “hak
ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan
tanah. Hak Ulayat merupakan hak suatu persekutuan hukum (desa, suku) dimana
para warga masyarakat (persekutuan hukum) mempunyai hak untuk menguasai tanah.
Sebidang tanah yang ada disekitar lingkungannya dimana pelaksanaannya diatur
oleh Ketua Persekutuan (kepala suku/kepala desa) yang bersangkutan.
Sedangkan
Boedi Harsono mengatakan bahwa :
“Hak
Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya,
yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa. Wewenang dan kewajiban tersebut yang termasuk
bidang hokum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas
tanah tersebut. Ada
juga termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur
dan memimpin peruntukkan, penggunaan, dan pemeliharaannya”
Dengan demikian, Hak Ulayat adalah sebutan yang dikenal,
dalam kepustakaan hukum adat sedangkan dikalangan masyarakat hukum adat
diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Hak Ulayat merupakan
hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua
tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat
tertentu,yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.
Bersifat magis religius bahwa hak ulayat tersebut merupakan
tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan
merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur kepada masyarakat adat
sebagai unsur terpenting bagi kehidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang
kehidupannya berlangsung.
Menurut Sukamto, hubungan antara persekutuan hukum dengan
tanahnya (Ulayat) diliputi suatu sifat yang disebut Religio Magis yang artinya
para warga persekutuan hukum (masyarakat) yang bersangkutan dan pikirannya
masih kuat dipengaruhi oleh serba roh y;ang menciptakan gambaran bahwa segala
sesuatu yang bersangkut paut dengan pemanfaatan atau pendayagunaan tanah harus
dilakukan secara hati-hati. Karena adanya potensi-potensi gaib.
Dengan demikian hak ulayat adalah hak milik bersama
persekutuan warga masyarakat yang mempunyai nilai kebersamaan yang bersifat Magis
Religius serta sakral yang sudah ada sejak dahulu dan dikuasainya secara turun
temurun yang oleh para ilmuwan disebut sebagai proses budaya hukum.
Konsepsi Hak Ulayat dalam Hukum
Tanah Nasional
Hak Ulayat terdapat dalam Hukum Adat. Hal ini disebabkan
karena penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat dari
masing-masing daerah dimana hak ulayat itu berada. Hal ini kemudian menyebabkan
hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya pengaturannya
berbeda-beda. Keadaan ini kemudian melahirkan keragaman dalam Hukum Adat yang
secara tidak langsung berpengaruh pula bagi hukum pertanahan, karena hak ulayat
merupakan hak pengusaaan atas tanah hak milik adat.
Namun seiring perkembangan ilmu di segala bidang termasuk
ilmu pertanahan maka kemudian lahirlah suatu produk hukum yang dipandang dapat
mengakomodir keragaman-keragaman mengenai hukum pertanahan dalam negara kita
sehingga unifikasi hukum sebgai salah satu tujuan dikeluarkan produk hukum ini
dapat terwujud.
Lahirnya UUPA bukan berarti meniadakan keragaman yang ada dalam
hukum adat khususnya mengenai tanah tetapi lebih mengatur ketentuan yang
berlaku umum bagi seluruh warga negara mengenai hokum pertanahan Indonesia .
Sehingga untuk hukum adat pengaturannya diserahkan kepada peraturan hukum yang
berlaku di daerahnya masingmasing dengan catatan tidak bertentangan dengan
hukum nasional dan kepentingan nasional serta peraturan lain yang lebih tinggi.
Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak ulayat.
Walaupun tidak semua daerah atau wilayah di Indonesia
mengakui keberadaan hak ulayat bukan berarti hak ulayat tidak diatur dalam UUPA
sebagai hukum nasional. Hal ini karena sebagian besar materi diambil dari hukum
adat. Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu pengakuan
mengenai keberadaan dan pelaksanaannya. Eksistensi hakulayat ini menunjukkan
bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan sepanjang kenyataannya masih
ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan nasioanal bangsa dan negara serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan sesuatu
masyarakat hukum adat harus tunduk kepada kepentingan umum, bangsa dan negara
yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam
suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang
masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
e. Kedudukan Hak Ulayat setelah berlakunya
Peraturan Menteri
Agraria/Badan
Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Menurut Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Hak Ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya
masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum
adat dianggap masih ada apabila :
1.
Terdapat sekelompok or`ng yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hokum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2.
Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari.
3.
Terdapat tatanan hukum adat menguasai
pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlau dan ditaati oleh
para warga persekutuan hukum tersebut.
Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk
Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan
hukum dapat dilakukan :
1.
Oleh warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang
berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.
2.
Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
atas tanah menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah
tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai
dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan
khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat masyarakat adat yang
nyata-nyata masih ada didaerah yang bersangkutan.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap Hak Ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana
dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Kebijaksanaan
tersebut meliputi:
a.
Penyamaan persepsi mengenai Hak Ulayat (Pasal 1)
b.
Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat
hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5).
c.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah
Ulayatnya (Pasal 2 dan Pasal 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar