Pengertian
Hukum Adat
Istilah
hukum adat, merupakan terjemahan dari “adatrecht”, yang untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh C.Snouck Hurgonje di dalam karyakaryanya yang
masing-masing berjudul “ De Atjehers” dan “Het Gajoland en Zinje
Bewoner”.
Soerjono
Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia,(Jakarta :
Kurniaesa, 1981), hal 28
Snouck Hurgonje, memberikan arti hukum adat
sebagai “Die rechtsgevolgen hebben” (adat-adat yang mempunyai akibat hukum). Sebelum
diperkenalkannya istilah adatrecht oleh C. Snouck Hurgonje, di dalam peraturan
perundang-undangan Belanda, sering dipakai istilah-istilah seperti “godsdienstigewetten”,
“volksinstelligen en gebruiken”, “instellingen des volks” dan
sebagainya.
Ibid,
hal.30
Di dalam perundang-undangan Belanda, istilah “adatrecht”
baru dipergunakan sejak tahun 1920, yakni dalam peraturan perguruan tinggi (
N.stb. 1920 nomor 105) dan di dalam Academisch Statunt.
Ibid, hal
34
Van Vollenhaven didalam bukunya “Het Adatrecht van
nedelandsch – indie”, menulis bahwa hukum adat adalah “perangkat kaidah
yang berlaku bagi penduduk asli dan golongan timur asing yang di satu pihak
mempunyai sanksi (karena itu merupakan “ilmu”) dan di pihak lain tidak
dikodifikasikan (karena itu merupakan “adat”).
Opcit.hal
28
Teer
Haar mengemukakan dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang
apa yang dinamakan hukum adat. Di dalam pidato Dies tahun 1930 dengan judul
“Peradilan Landraad berdasarkan hukum tidak tertulis”, ia memberikan batasan
hukum adat sebagai berikut:
1.
Timbul dan terpelihara dalam keputusan-keputusan
dari warga-warga (masyarakat) hukum, teruatama keputusan yang berwibawa dari
kepala-kepala rakyat yang ikut serta dalam perilaku hukum atau pada terjadinya
pertentangan kepentingan, keputusan-keputusan hakim yang mengadili perkara,
sepanjang keputusan itu sebagai akibat kesewenang-wenangan atau kebodohan-
tidak bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat, tetapi hal itu tercakup
dalam kesadaran hukum sehingga diterima dan kemudian dipatuhi.
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bakal Pengantar.,(Yogyakarta:
Liberty, 1981), hal. 6
2.
Sedangkan rumusan yang kedua dalam orasinya
tahun 1937 yang berobyek “Hukum adat, adalah keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas), yang
mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam
pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
Soerjono, Op.cit. hal.29
Soepomo memberikan rumusan, hukum adat adalah:
“Sinonim dari hukum tidak tertulis di dalam
peraturan legislatif (unstatory law), hukm yag hidup sebagai konvensi di
badan-badan hukum Negara (parlemen, dewan propinsi dan sebagainya), hukum yang
hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup,
baik di kota-kota maupun di desa desa (customry law)”
Iman
Sudiyat. Op.cit.hal 6
Inti perumusan yang diberikan
oleh Soepomo tersebut, terletak pada pernyataan tentang hukum adat sebagai
hukum tidak tertulis. Dari perumusan Soepomo yang lain, akan dapat diketahui
bahwa pendapatnya mengikuti perumusan yang telah diberikan oleh Ter Haar. Hal
tersebut dapat di telaah dari apa yang kemukakan bahwa:
Hukum adat, adalah hukum non statuter yang
sebagaian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum
adat itupun dilingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim, yang
berisi asas-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat
adalah hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan
tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Soepomo,
Op.Cit ,hal.30
Apabila dilihat perbedaan utama
antara pendapat Teer Haar dengan Soepomo, terletak pada faktor-faktor pengakuan
dan penguatan adat istiadat oleh pejabat hukum, yang menurut Ter Haar merupakan
unsur yang mutlak yang menentukan lahirnya hukum dari adat-istiadat.
Sesungguhnya
sangat banyak dapat ditemukan rumusan-rumusan tentang hukum adat, namun dari
ketiga rumusan tersebut, kiranya sudah cukup untuk memberikan gambaran tentang
batasan-batasan hukum adat. Selain itu perlu pula untuk dikemukakan, rumusan
hukum adat di dalam seminar dan berbagai pertemuan ilmiah di bidang hukum,
telah mengkonstantir tentang betapa pentingnya kedudukan hukum adat dalam
rangka pembinaan hukum nasional. Di dalam seminar hukum nasional ke III di
Surabaya, tanggal 11 – 15 Maret 1975 secara tegas dinyatakan, bahwa pembinaan
hukum nasional harus memperhatikan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup
dalam masyarakat (the living law). Selanjutnya di dalam seminar Hukum
Adat dan pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta pada
tanggal 15-17 januari 1975 kita, memperoleh gambaran tentang peranan hukum adat
yang dirumuskan sebagai berikut :
1.
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang
penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang
menuju pada unifikasi hukum.
2.
Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam
penyusunan hokum nasional pada dasarnya berarti :
a.
Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum
dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi
kebutuhan masyarakat kini.
b.
Penggunaan lembaga-lembaga adat yang
dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan
sifat-sifat kepribadian Indonesia-nya.
c.
Memasukkan konsep-konsep dan asas-asas hukum
adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk
memperkaya kehidupan hukum.
3.
Dengan terbentuknya hukum nasional yang
mengandung unsur-unsur hukum adat, maka peranan dan kedudukan hukum adat telah
terserap ke dalam hukum nasional.
Abdurachman, Kedudukan Hukum
Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung : Alumni), hal 150-151
Dengan
demikian hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia ,
yang disana sini mengandung unsur Agama.
Hukum Adat dalam Perundang-undangan
Setelah kita memperoleh gambaran tentang pengertian Hukum
Adat, berikut akan dikemukakan tentang hukum adat dalam perundang-undangan Republik
Indonesia .
Uraian berikut mengedepankan tentang landasan yuridis berlakunya hukum adat, dalam
kedudukan dan peranannya dalam perundang-undangan. Pengertian peraturan
perundangan-undangan di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan
dengan Undang-Undang. Pembahasan Undang-Undang di sini di batasi pada
Undang-Undang dalam arti materiil, artinya peraturan tertulis yang berlaku umum
dan dibuat oleh penguasa yang sah, ruang lingkupnya adalah :
a.
Peraturan Pusat atau Algemene Verordering, yakni
peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah pusat, yang berlaku umum
diseluruh atau sebagaian wilayah negara.
b.
Peraturan setempat atau locale verordering, yang
merupakan peraturan tertulis, yang dibuat oleh penguasa setempat dan hanya
berlaku di tempat atau daerah itu saja.
Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan urisprudensi, (Bandung : Alumni,
1979), hal. 6
Uraian didasarkan pada hierarki perundang-undangan dan hukum
adat di sini, diidentikkan dengan hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), sedangkan
yang akan dibahas adalah kedudukan hukum adat yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
UUD 1945
Apabila diteliti, sebelum amandemen ke II tahun 2000 di
dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas menyinggung persoalan
tentang hukum adat. Untuk itu merupakan suatu hal yang lenarik untuk diamati,
bahwa sekalipun oleh banyak kalangan hukum adat diterima sebagai salah satu
sumber hukum, namun Undang-undang Dasar sama sekali tidak menyebutkan.
Satjipto
Rahardjo, “Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, dalam konteks perubahan sosial”
dalam masalah-masalah hukum No. 5 Tahun XII, 1983.,hal 52
Didalam penjelasan UUD 1945 yang menurut hukum tata Negara indonesia
mempunyai nilai yuridis, kita akan mendapatkan ketentuan sebagai berikut :
“Undang-undang
Dasar Negara adalah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang–undang
Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping Undang-undang Dasar
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak
tertulis”.
Di sini perlu dipertanyakan, apakah hukum dasar yang tidak
tertulis itu dapat dipandang sebagai bagian dari hukum Adat Indonesia
ataukah sebaliknya hukum berinduk pada hukum dasar yang tidak tertulis. Para
ahli hukum tata negara umumnya memberikan arti hukum dasar tertulis itu sebagai
“konversi”, yang biasanya dicontohkan dengan praktek ketatanegaraan yang tidak
diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun apabila kita mengkajinya lebih jauh
dan melihat apa yang dikemukakan oleh Soepomo tentang hukum adat, yang pada
intinya bahwa hukum adat adalah sinonim dari hukum tidak tertulis di dalam
peraturan legislative (unstatory law), hukum yang hidup sebagai konversi dalam
badan-badan hukum negara (parlemen, dewan propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup
sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik
di kota-kota maupun di desa-desa (customary law), maka konversi tersebut juga
termasuk golongan hukum adat.
Dalam Pasal II AP disebutkan “ Segala badan negara dan
peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar ini”. Pasal II AP ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan
hukum (rechtsvacum) terhadap permasalahan-permasalahan yang belum diatur dalam
perundang-undangan. Mengingat pada waktu proklamasi kemerdekaan dan yang menurut
penulis juga sampai saat ini belum ada satu ketentuan yang mengatur secara
tegas mengenai peranan dan kedudukan hukum adat, maka aturan-aturan yang mengatur
tentang hukum adat untuk sebagian msih dapat dipandang berlaku.
Setelah Amandemen ke II tahun 2000 didalam UUD 1945 mengenai
hukum adat dituangkan dalam Bab IV Pasal 18 B (2) dan penjelasan Pasal 18 (2).
Didalam
Pasal 18 B (2) disebutkan:
Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia , yang diatur dalam
Undang-Undang.
Hukum
Adat dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Hukum agraria nasional yang telah berhasil diwujudkan oleh
UUPA menurut ketentuannya adalah didasarkan pada hukum adat, yang berarti hukum
adat menduduki posisi yang sentral di dalam sistem hukum agrarian nasional. Hal
yang demikian secara in abstracto mungkin dapat dengan mudah di tunjukkan
dasar-dasarnya, akan tetapi bilamana kita ingin melihatnya secara konkret akan
banyak timbul kesulitan dalam menentukan bagaimana tempat hukum adat yang
dikatakan sebagai dasar dari pada hukum agraria nasional itu. Dalam menanggapi
tentang apa dan bagaimana posisi hukum adat sebagai dasar hukum agraria
nasional kita memasuki perbincangan yang panjang tentang bagaimana kedudukan hukum
adat itu sebenarnya dalam sistem hukum agraria nasional. Dengan berlakunya UUPA
menurut Wirjono Projodikoro maka negara Indonesia
membuka jalan dengan tegas bagi perkembangan hukum di Indonesia ke arah tentang berlakunya hukum adat
sebagai inti hukum bagi segenap penduduk Indonesia pada khususnya.
Wirjono
Projodikoro, Rancangan Undang-Undang Hukum Perjanjian Hukum dan Masyarakat,
Kongres I, 1961,. Hal.105
Prof. Hazairin mengemukakan pendapatnya mengenai persoalan
ini dalam salah satu tulisannya “ dengan UUPA No.5 Tahun 1960 yang juga bertujuan
unifikasi telah dicabut hukum adat mengenai tanah dan air dengan menggantinya
dengan hukum agraria yang bercorak modern sebagai satu-satunya hukum tanah di
Indonesia, sebab juga hukum agrarian kolonial dan hukum tanah dalam Buku II KUH
Sipil (Perdata) ikut dicabut”. Seterusnya dikemukakannya, bahwa ketentuan
agraria yang baru itu terutama berdasar atas asas-asas hukum tanah adat.
Hazairin,
Sekelumit Persangkutpautan Hukum Adat dalam tujuh Serangkaian tentang Hukum,
Tirta Mas, 1974, Hal. 37
Berbeda dengan pandangan tersebut di atas, Prof. Sudirman Kartohadiprodjo
menyatakan, bahwa UUPA itu akan disusun berdasarkan hukum adat tetapi
kenyataannya adalah pemikiran yang dipergunakan untuk menyusun itu adalah
pemikiran yang bertentangan dengan dasar pemikiran hukum adapt.
Sudirman
Kartodiprodjo, Hukum Nasional Beberapa Catatan, Bina Cipta,Bandung ,1971 hal 16-17
Dalam memberikan gambaran mengenai hokum hukum agraria adat
yang berlaku sebelum lahirnya UUPA, Boedi Harsono mengemukakan bahwa hukum
agraria yang tidak tertulis terutama adalah hukum agraria adat yang bersumber
pada hukum adat. Biarpun pokok-pokok dan asas-asasnya sama, tetapi hukum
agraria adat itu menunjukkan juga perbedaan-perbedaan menurut daerah /
masyarakat tempat berlakunya. Berhubung warna pula, sehingga disebut
pluralistis. Kiranya kebhinekaan
dari
hukum agraria adat ini, ditambah dengan kenyataan bahwa isinya tidak diletakkan
di dalam peraturan-peraturan yang tertulis mengurangi kepastian hukum terutama
adalah hubungan-hubungan dengan orang luar.
Boedi
Harsono, Op.Cit. Hal.50
Sedangkan Sudargo Gautama mengemukakan mengenai masalah ini,
jika menghadapi persoalan-persoalan hukum adat acap kali timbul keraguraguan tentang
apakah yang sebenarnya yang merupakan hukum dan apakah sesungguhnya isi dari
pada hukum adat itu.
Benar tidak dapat disangkal, apa yang dikemukakan oleh Bapak
Hukum Adat Van Vollenhoven dan muridnya Guru besar yang kenamaan Teer Haar,
bahwa dalam hal ini keragu-raguan akan hukum bukanlah disebabkan karena hukum
adatnya, tetapi karena si pelaksanan hokum sendiri kurang pengetahuannya
tentang hukum adat ini. Akan tetapi menurut Sudargo Gautama, kiranya juga tidak
dapat diingkari bahwa tiap- tiap lingkungan hukum (rechtkring), tidak sedikit
disebabkan karena kenyataan bahwa hukum adat ini merupakan hukum yang tidak
tertulis.
Dengan berlakunya UUPA ini, hukum adat yang tidak tertulis
ini dinyatakan sebagai hukum yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa (Pasal
5). Hal ini berarti, bahwa sebagian dari hak-hak yang tadinya diatur oleh hukum
tertulis (yakni hak-hak menurut sistem hukum barat), kini isinya tidak lebih
lama akan diatur oleh hukum tertulis. Bahwa tentang isinya dalam hubungan
dengan hak-hak lain, dengan hak-hak orang-orang lain dan sebagainya, dalam
banyak hal akan timbul keragu-raguan kiranya tidak dapat disangkal. Tidak
tertulisnya hukum adat, banyak sedikitnya mempengaruhi pula ketidakpastian ini.
Pada hal pembuat UUPA sendiri dengan tegas mengemukakan, sebagai salah satu
tujuan utama dari pada peraturan pokok tersebut bahwa ketidakpastian hukum
harus dilenyapkan.
Sudargo
Gautama,Op.cit.hal 15
Dari pandangannya tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa
ia beranggapan bahwa posisi penting dari pada hukum adat itu dalam system hukum
agraria hanyalah untuk sementara waktu saja karena hukum adat kurang menjamin
kepastian hukum, sedangkan ketidakpastian hukum harus dihilangkan berarti pula
hukum adat harus ditinggalkan.
Hal yang demikian jelas dikemukakannya pada waktu
menyinggung Pasal 58 UUPA, dimana dikatakan benar dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa selama peraturan pelaksanaan dari pada UUPA belum terbentuk, maka
semua peraturan agraria lama baik yang tertulis maupun tidak tertulis harus
dipandang sebagai tetap berlaku. Tetapi tetap berlakunya peraturan lama ini
dibatalkan oleh suatu pengecualian, yakni bahwa peraturan-peraturan ini hanya
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dari jiwa dalam ketentuan-ketentuan
Undang-Undang ini (UUPA).
Ibid.
Hal.8
Dalam menanggapi ketentuan pasal 5 UUPA tersebut Soerjono Soekanto
menyatakan bahwa Pasal 5 tersebut harus di telaah secara sistematis yuridis
dengan pasal-pasal lainnya dalam UUPA tersebut. Memang merupakan masalah yang
sukar dipecahkan, oleh karena ini Pasal 5 tersebut, sehingga secara sosiologis
timbul 2 kecenderungan, yakni :
I.
Kecenderungan untuk menjauhkan hukum adat dari
proses modernisasi artinya menyimpan atau “coser verent”.
II.
Kecenderungan untuk mengganti Hukum Adat.
Kesimpulan di atas dapat
ditarik apabila UUPA dipelajari secara menyeluruh atas dasar pernyataan apakah
benar hukum adat yang berlaku Banyak inkonsistensi yang dapat diketemukan
seterusnya. Kemungkinan besar hal itu timbul oleh karena pembentuk UU tidak
berhasil sepenuhnya menemukan hubungan antara tahap-tahap “het stelsel
Verdertebauwen” dengan “Verbouwen Van Het Stelsel “ dari het hukum adat
tersebut. Dengan demikian sukar untuk menentukan kedudukan dan peranan hokum adat
secara tepat.
Soerjono Soekanto, Masalah
Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica 1979),hal.28-29
Informasi yang sangat bermanfaat, terimakasih banyak
BalasHapus