Pengertian Tanah
Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena semua orang memerlukan tanah semasa hidupnya sampai meninggal
dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian sebagian besar yang
masih bercorak agraris. Sebagai negara yang bersistem agraris, tanah merupakan
lahan penghidupan yang sangat layak dan kompleks bagi tiap-tiap orang untuk
mencapai kemakmuran di berbagai bidang, yang mana tanah itu sendiri juga
merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu bangsa dan manfaatnya harus dapat
diusahakan dengan sebaik-baiknya.
Tanah
bagi kehidupan manusia, mengandung makna yang multidemensional. Pertama,
dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan
kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menetukan posisi seseoarang
dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya,
dapat menetukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah
bermakna sakral, karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah.
Heru
Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, (Surakarta : Muhammadiyah University Press
2001), hal.237
Karena
makna yang multidimensional tersebut ada kecenderungan, bahwa orang yang
memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya
dilanggar.
Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun
negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “ Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria
kita lihat adanya perbedaan pengertian “bumi” dan “tanah”. Untuk mengetahui hal
tersebut dapat kita lihat dari kedua pasal dibawah ini : Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan : “ Dalam pengertian bumi, selain
permukaan bumi, termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air”. Pasal
tersebut diatas memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
“bumi”. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria pengertian bumi meliputi permukaan
bumi ( yang disebut tanah) berikut apa yang ada dibawahnya yang berada dibawah
air. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) menyatakan : “ atas dasar hak mengusai
dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum”.
Dari
dua pengertian diatas terlihat jelas terdapat perbedaan pengertian bumi disatu pihak
dan pengertian tanah di pihak lainnya, dimana yang dimaksud dengan tanah
adalah
bagian permukaan bumi.
Keterikatan antara orang dengan tanah yang dimiliki, menjadi
sangat kompleks dengan berbagai dimensinya, sehingga proses pengambilan tanah penduduk
tanpa adanya unsur “kerelaan” dari pemegang hak akan menimbulkan banyak
masalah. Persoalan pengadaan tanah, pencabutan hak atau pelepasan hak atau
apapun namanya selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara
seimbang yaitu kepentingan “Pemerintah” dan kepentingan “Warga masyarakat”. Dua
pihak yang terlibat itu yaitu “Penguasa” dan “Rakyat” harus sama-sama
memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai hal
tersebut. Bilamana hal tersebut tidak diindahkan akan timbul persoalan-persoalan
yang bisa memicu terjadinya sengketa.
Dominasi
kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah dibidang ekonomi diwujudkan
melalui pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA dengan berbagai jenis
hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan
sebagainya. Akibat pemanfaatan tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan
hukum sering menimbulkan hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas
tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi obyek yang sangat subur untuk
dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok.
Arif
Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis,(Jakarta: Sinar Grafika, 1996)
hal.69
Sengketa tanah dalam masyarakat seringkali terjadi dimana
semakin tahun semakin meningkat dan terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia
baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Persoalan tanah selama ini sangat
relevan untuk dikaji bersama-sama dan dipertimbangkan secara mendalam dan
seksama dalam kaitannya dengan kebijakan dibidang pertanahan selama ini. Hal
ini karena ditingkat implementasi kebijakan yang diperlihatkan selama ini telah
mengabaikan aspek struktural penguasaan tanah yang pada akhirnya menimbulkan
berbagai macam sengketa. Kasus pertanahan yang seringkali terjadi bila dilihat
dari konflik kepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain:
1.
Rakyat berhadapan dengan birokrasi negara;
2.
Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara;
3.
Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta;
4.
Konflik antara rakyat.
Arti penting hubungan manusia dengan tanahnya selain dalam
hubungan hukum, dalam hukum adat mempunyai hubungan kosmis-magis-religius.
Hubungan ini bukan antara individu dengan tanah, tetapi juga antar sekelompok anggota
masyarakat suatu persekutuan hukum adat (rechtgemeentschap) di dalam hubungan
dengan hak ulayat.
Jhon
Salindeho, Manusia Tanah Hak dan Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta, 1994),
hal.33
Sengketa
tanah Hak Ulayat di Kabupaten Sorong, yaitu mengenai Pelepasan Hak atas tanah
Hak Ulayat Suku Moi kepada Pemerintah Kabupaten Sorong merupakan contoh konkretnya.
Berdasarkan Surat Keputusan bersama dari Kepala Suku Moi bersama seluruh rakyat
Sorong, tertanggal 6 Mei 2004 No. 001/KPTS/5/2004 tentang penyerahan 3 (tiga) bidang
tanah kepada Pemerintah dengan sukarela tanpa menuntut ganti kerugian,
disebutkan bahwa : Untuk kepentingan Proyek Pembangunan Sorong dalam arti luas,
maka menyerahkan dengan sukarela tanpa menuntut ganti kerugian kepada
Pemerintah sejumlah 3 (tiga) bidang tanah berturutan terletak sebagai berikut:
1.
5 (lima )
kilometer lebar terhitung dari Tanjung Kasuwari melebar ke Wilayah Timur Kilometer
8 dan membujur panjang kedaratan sampai di daerah Aimas Distrik Klawili.
2.
5 (lima) kilometer lebar terhitung dari Kampung
Malanu melebar ke Barat Rovei (Kampung Baru) Distrik Sorong Utara dan membujur
panjang kedaratan sampai di Kaki Gunung Pal Putih ± 150 (seratus lima puluh)
kilometer.
3.
Tanah-tanah yang dihimpit oleh Sungai Remuh dan Sungai
Klamono (tanah yang terletak di antara sungai Sungai Remuh dan Sungai Klamono),
terhitung dari pantai membujur panjang kedaratan sampai di kaki Gunung Pal
Putih ± 150 (seratus lima
puluh) kilometer.
Namun dalam perkembangannya, oleh para ahli waris dari para
pihak yang menyetujui dan menandatangani Surat Keputusan Bersama tersebut di
atas, melakukan klaim sepihak atas ketidakabsahan Surat tersebut, sehingga
meminta ganti kerugian atas tanah yang telah di serahkan kepada Negara (Pemerintah
Kabupaten Sorong) salah satunya adalah keberadaan Bandar Udara Edward Osok yang
berada di atas tanah yang menjadi obyek sengketa Hak Ulayat ini.
Pengklaiman ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar, sebab
di atas tanah-tanah yang oleh Suku Moi telah diserahkan berdasarkan Surat
Keputusan Bersama tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Sorong, telah menjadi
Ibukota Kabupaten Sorong yang berarti di atas Tanah Negara tersebut telah
muncul berbagai Hak atas Tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha
maupun Hak Pakai atas tanah negara, yang dapat dibuktikan dengan Sertifikat
tanah sebagai alat bukti yang kuat yang di terbitkan oleh Kantor Pertanahan,
sehingga dengan munculnya klaim sepihak ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar