2.1 Asfiksia Neonatorum
2.1.1 Definisi Asfiksia Neonatorum
o Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir dilahirkan tidak segera Bernafas spontan dan teratur setelah dilahirkan.
(Mochtar, 1998 : 427)
o Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal Bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
(Hutchinso, 1967)
o Asfiksia Neonatorum akan terjadi apabila saat lahir bayi mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2
(Markum, 1991 : 261)
o Asfiksia Neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.
(Manuaba, 1998 : 319)
2.1.2 Etiologi
Towell (1996) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari :
1. Faktor ibu
· Hipoksia ibu, dapat terjadi karena hipoventilisasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam sehingga akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya
· Gangguan aliran darah uterus. Menguranginya aliran darah pada uterus akan menyebabkan kekurangan pengaliran O2 ke plasenta dan janin. Misalnya : gangguan kontraksi uterus (hiportemi, hipotoni, tetani uterus akibat penyakit / obat), hipotensi mendadak pada ibu akibat perdarahan, hipertensi akibat penyakit eklamsia.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin atas terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusi plasenta, perdarahan plsenta dan plasenta previa.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ii dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbug, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir yang dapat terjadi beberapa hal yaitu :
a. Pemakaian alat anastesi (analgetika yang berlebihan pada ibu)
b. Trauma yang terjadio pada persalinan (perdarahan intracranial)
c. Kelainan congenital pada bayi (hernia diafragmatika, atesi/stnosis saluran pernafasan, hipoplasia)
(Hasan, 1985 : 1073)
2.1.3 Patogenesis
a. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah timbullah rangsangan terhadap nesovagus sehingga jantung janin menjadi lambat. Bila kekurangan O2 ini terus berlangsung, maka nesovagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbullah kini rangsangan dari neso simpatikus. Djj menjadi lebih cepat akhirnya irregular dan menghilang
b. Kekurangan O2 juga merangsang usus, sehigga mekonium keluar sebagai tanda janin dalam hipoksia :
· Jika Djj normal dan ada mekonium maka janin mulai hipoksia
· Jika Djj > 160 x / menit dan ada mekonium maka janin sedang hipoksia
· Jika Djj < style=""> menit dan ada mekonium maka janin dalam keadaan gawat
c. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterine dan bila kita periksa kemudian, terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru. Bronkus tersumbat dan terjadi atelekrasis bila janin lahir alvedi tidak berkembang
(Mochtar, 1998: 428)
2.1.4 Diagnosis
Untuk dapat menegakkan diagnosis gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai berikut :
a. In utero
- Djj irregular dan frekuensinya lebih dari 160 x / menit atau kurang dari 100 x / menit
- Terdapat mekonium dalam air ketuban (letak kepala) karena terjadi rangsangan nervus x, sehingga peristalktik usus meningkat dan sfingter ani terbuka
- Analisis air ketuban / amnioskopi
- Pemeriksaan PH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin. Darah ini diperiksa pH-nya adanya asidosis menyebabkan turunnya pH, apabila pH itu turun dibawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya
- Kardiotografi
- Ultrasografi
b. Setelah bayi lahir
- Bayi tanpak pucat dan kebiru-biruan serta tidak Bernafas / menetapkan nilai APGAR
- Kalau sudah mengalami perdarahan diotak maka ada gejala neurologik seperti kejang, mistagmus dan menangis kurang baik / tidak menangis
(Mochtar. 1998 : 428 dan Manuaba, 1998 : 320)
2.1.5 Macam-macam Askifisa Noenatorum
Dapat dibagi menjadi :
1. Vigorus baby. Skor APGAR 7-10. dalam hal ini bayi dianggap sehat tidak memerlukan tindak istimewa.
2. Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang). Skor APGAR 4-6 pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100 x / menit, tonus otot kurang baik sinosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. a. Asfiksia berat skor APGAR 0-3. pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 x / menit, tonus otot buruh, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada
b. Asfiksia berat dengan henti jantung, dimaksudkan dengan henti jantung adalah keadaan
1) Bayi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap
2) Bunyi jantung bayi mengilang post partum
2.1.6 Tanda dan Gejala Klinis
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardivaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaraya :
a. Hilang sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung
b. Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung
c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami gangguan
Gejala klinis :
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-agsur berkurang dari bayi memasuki periode apneru primer.
Gejala dan tanda pada asfiksia neunatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosisus, nadi cepat
Gejala lanjut pada asfiksia :
1) Pernafasan megap-megap yang dalam
2) Denyut jantung terus menurun
3) Tekanan darah mulai menurun
4) Bayi terlihat lemas (flaccid)
5) Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)
6) Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2)
7) Menurunnya PH (akibat acidosis respoiraktorik dan metabolic)
8) Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob
9) Terjadinya perubahan sistem kardivaskuler
2.1.7 Penanganan
1. Prinsip dasar resusitasi ialah
a. Memberi lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan
b. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha nafas lemah
c. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik
2. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
Tidak membiarkan bayi kedinginan agar tidak memperoleh kondisi asifiksia. Dapat dilakukan dengan pemakaian lampu yang cukup kuat untuk pemanasan luar dan pengeringan tubuh bayi perlu dikerjakan untuk mengurangi evaporasi
b. Pembersihan jalan nafas
Pada saat pemberishna saluran nafas bagian atas dari lender dan cairan amnion letak kepala harus lebih rendah untuk memudahkan dan melancarkan keluarnya lender. Bila terdapat lender kental yang melekat ditrakea dan sulit dikeluarkan dengan penghisapan biasa, dapat digunakan laringoskop neonatal
c. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
- Sebagian besar dapat dilakukan dengan penghisapan lender dan cairan amnion melalui nasofaring
- Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa hidung
- Rangsangan nyeri dapat ditimbulkan dengan memukul kedua telapak kaki bayi menekan tendom achilles
3. Tindakan khusus
a. Asfiksia berat (skor apgar 0-3)
1) Memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2 dengan tekanan dari intermiten / melakukan intubasi endotrakeal
2) Meletakkan Katter dalam trakea, O2 diberikan dengan tekanan tidak lebih dari 30 cm H2O untuk mencegah kemungkinan terjadinya inflasi paru berlebihan yang dapat menimbulkan rupture alvedi
3) Memberikan antibiotika profilaksi pada bayi yang mendapat tindakan pemasangan kateter
4) Asfiksia yang disertai asidosis paru perlu diberikan bikar bonas natrikus dengan dosis 2-4 mEg/kgbb atau larutan bikarbonas natrikus 7,5 % ditambah dengan glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4 ,l/kgbb (kedua obat ini disuntikan secara intravena dengan perlahan-lahan melalui umbilikalis)
5) Jika setelah 3x inflasi tidak ada perbaikan pernafasan maka harus segera masase jantng eksternal dengan frekuensi 80-100 x / menit. Dilakukan dengan cara 1 kali ventilisasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks
b. Asfikisa sedang (skor apgar 4-6)
1) Melakukan stimulasi dalam waktu 30-60 detik bila tidak timbul pernafasan spontan maka ventilisasi aktif harus segar dilakukan
2) Cara ventilisasi aktif yaitu dengan meletakkan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan dengan aliran 1-2 1/menit
3) Memberikan posisi dorsoflkeis kepala pada bayi
4) Lakukan gerakan membuika dan menutup nares dan mulut secara teratur disertai gerakan dagu keatas da ke bawah dalam frekuensi 20x/menit sambil memperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen
5) Jika tidak ada hasil yang diperlihatkan oleh bayi maka lakukan ventilisasi mulut ke mulut atau ventilisasi kantong masker. Ventilisasi dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20 – 30 x/menit sambil memperhatikan gerakan pernafasan spontan yang timbul.
(Hasan, 1985 : 1077)
2.2 Asuhan Kebidanan Pada Bayi dengan Asfiksia Sedang
2.2.1 Pengkajian
Tanggal :
Jam :
Tempat :
Oleh :
No. Reg :
1. Data Subyektif
a. Biodata
· Biodata bayi
- nama, jenis kelamin, usia tanggal lahir
· Biodata orang tua
Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
b. Keluhan Utama
-
c. Riwayat prenatal, natal, dan postnatal
- Prenatal : Ibu mengalami Preeklamsi/eklamsi, hipotensi karena perdarahan dan adanya gangguan kontraksi uterus
-
- Post natal : pada ibu mengobservasi peredaran post partum, TFU, TV sedangkan pada bayi mengobservasi TTV, infeksi pada tali pusat
d. Kebutuhan dasar
Pola nutrisi, pola eliminas, pola istirahat, dab pola aktivitas
e. Riwayat penyakit keluarga
Untuk mengetahui apakah keluarga ada yang mempunyai penyakit menular, menurun, dan menahun
f. Riwayat psikososial
-
2. Data obyektif
1) Pemeriksaan umum
- KU : lemah
- TTV : suhu : kurang dari normal (normal 36-270 C)
: nadi : kurang dari normal (120 – 160 x / menit)
2) Pemeriksaan fisik
Muka : bayi terdapat kelainan, bibir kelihatan sianosis
Mulut : warna bibir biru
Dada : retraks dinding dada, ronchi (+)
Ekstremitas : kelihatan sianosis terutama pada kuku
3) Pemeriksaan neurologist
- Reflek moro
- Reflek menggenggam
- Reflek rooting
- Reflek menghisap
- Glabella reflek
- Gland reflek
4) Pemeriksaan antropometri
BB : normal 2500 – 4000 gr
PB : normal 48 – 52 cm
LK : normal 33 – 35 cm
2.2.2 Identifikasi Diagnosa dan Masalah
Dx : bayi baru lahir dengan asfiksi sedang
Ds : bidan mengaakan bayi telah mengalami asfiksi sejak lahir
Do : KU : lemah
AS : 4-6
Ketuban : pecah
Suhu : 350 C
Nadi : 94 x / menit
2.2.3 Antisipasi Masalah Potensial
- Asfiksi berat
- Gangguan SSP
- Kejang
- Kematian
2.2.4 Identifikasi Kebutuhan Segera
Melakukan penghisapan lendir pada mulut atau hidung dengan slym sucker
2.2.5 Intervensi
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
R/ Mencegah terjadinya infeksi silang
2. Meletakkan bayi pada posisi yang benar yaitu eksternsi
R/ Mempermudah posisi ekstensi membuka jalan napas lebih luas pada daerah epiglotis
3. Bersihkan jalan nafas dengan menggunakan slym sucker
R/ Memperlancar jalan nafas agar pemenuhan O2 terpenuhi
4. Memberikan rangsangan taktil
R/ Merangsang timbulnya rasa nyeri
5. Pemeriksaan TTV
R/ mengetahui kondisi bayi dan diteksi dini adanya kelainan
6. Menjelaskan pada keluarga keadaan bayi
R/ Keluarga lebih kooperatif dalam melakukan tindakan keperawatan
7. Rujuk jika masih tetap tidak Bernafas
R/ untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak diinginkan dan segera mendapatkan perawatan yang sesuai
2.2.6 Implementasi
Sesuai dengan intervensi
2.2.7 Evaluasi
Sesuai dengan kriteria hasil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar