Saya perhatikan ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben. Dilaksanakan sendiri oleh keluarga tertentu, dilaksanakan di balai banjar bersama-sama, ada pula yang dilaksanakan oleh beberapa orang saja.
Benar seperti yang Anda katakan bahwa ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben di
Ngaben niri artinya melaksanakan upacara ngaben sendiri. (Niri = diri = sendiri). Dalam hal ini berarti bahwa keluarga duka (kelayusekaran), dapat melaksanakan upacara ngaben pada waktu tertentu, sesuai dengan keinginannya. Banjar pakraman tidak mencampuri waktu pelaksanaannya, tetapi hanya memberi bantuan tenaga dan materi (dikenal dengan sebutan patus banjar), sesuai ketentuan awig-awig yang berlaku. Patus banjar, baik berupa tenaga maupun materi, jumlahnya tidak seberapa, dibandingkan dengan jumlah tenaga dan materi yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan rangkaian upacara ngaben. Bahkan adakalanya sama sekali tidak mendapatkan bantuan banjar (tan polih penyanggran banjar) . Oleh karena itu, ngaben niri juga dilaksanakan oleh keluarga keturunan bangsawan. Terlepas dari ini, lahir sebagai seorang bangsawan, terbilang relative berat. Ngaben ngamasa berarti melaksanakan upacara ngaben secara terjadwal, sesuai situasi dan kondisi yang dianggap baik bagi mereka yang akan melaksanakan upacara ngaben (dikenal dengan istilah ambah lan galah becik). Istilah lain ngaben ngamasa adalah “ngaben ngerit”, “ngaben massal”, atau “ngaben bersama”. Upacara ngaben ngamasa dilaksanakan dengan maksud menghemat biaya dan waktu, tanpa mengurangi makna pelaksanaan upacara ngaben. Cara pelaksanaan ngaben ngamasa ada dua.
Pertama, ngaben ngemasa dilaksanakan dengan cara yang persis sama dengan ngaben niri (ngaben sendiri), Cuma waktunya bersamaan. Keuntungannya, pelaksanaan upacara ngaben dengan mudah dapat diketahui, jauh hari sebelum puncak acara, sehingga segala aktivitas yang terkait dengan upacara tersebut dapat dijadwalkan. Kelemahannya, warga banjar yang diharapkan memberi bantuan menjadi bingung dan kacau. Mereka dituntut harus pintar membagi waktu agar dapat memberi bantuan kepada sebanyak mungkin warga yang kebetulan melaksanakan upacara ngaben. Untuk memudahkan, biasanya anggota banjar dibagi sesuai dengan jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben. Konsekwensinya, kalau jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben sedikit dan anggota anggota banjar lumayan banyak, maka masing-masing warga yang ngaben mendapatkan bantuan banjar yang lumayan banyak juga. Sebaliknya kalau warga yang ngaben banyak sedangkan jumlah warga banjar sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan bantuan banjar dalam jumlah terbatas. Kesulitan lainnya, ada hubungan dengan bantuan materi (patus) kepada warga yang melaksanakan upacara ngaben. Masing-masing warga akan mengeluarkan patus sesuai dengan jumlah warga yang ngaben. Kalau kewajiban patus senilai Rp 25.000, dan jumlah warga yang ngaben 30 orang, maka masing-masing warga banjar akan mengeluarkan patus sekitar 750.000. jumlah ini tidak dapat dianggap enteng.
Kedua , ngaben ngamasa dilaksanakan dengan cara ”satu untuk semua”. Artinya, upacara ngaben dilaksanakan pada waktu, tempat, cara, dan oleh panitia yang sama. Sarana dan prasarana upacaranya dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan semangat satu untuk semua. Unsur tertentu dari upacara yang sama sekali tidak mungkin untuk disatukan, barulah dibuat oleh masing-masing anggota. Pelaksanaan upacara ngaben seperti ini dikenal dengan sebutan “ngaben bersama'. Di Desa Pakraman Celuk, Sukawati ngaben ngamasa dengan cara ”satu untuk semua”ini dikenal dengan istilah ngaben kinembulan.
Saya berpendapat, ngaben kinembulan ini akan menjadi pilihan terbaik untuk pelaksanaan upacara ngaben masa depan. Sebabnya, antara lain: (1) biaya yang disiapkan oleh warga yang akan melaksanakan upacara ngaben relatif lebih kecil, karena sebagian besar sarana dan prasarana ngaben dibuat satu untuk semua, (2) biaya bagi warga masyarakat yang lainnya (patus) juga kecil, karena kewajiban mengeluarkan (patus) juga dirancang hanya satu untuk semua, (3) dapat menghemat waktu dan tenaga, karena segala bantuan tenaga diatur oleh panitia banjar dengan pola satu untuk semua, (4) tidak menganggu warga yang di instansi pemerintah atau swasta, karena lebih mudah mengatur waktu, termasuk memohon cuti, (5) upacara ngaben memerlukan sarana tumbuh-tumbuhan (kelapa, pisang, bambu, dan lainnya) yang lumayan banyak. Dengan ngaben ngamasa atau kinembulan, lebih memungkinkan bagi tumbuh-tumbuhan untuk hidup dan berkembang secara wajar dan sehat, sebelum mereka harus turut “berkorban” demi kepentingan upacara ngaben.
Ngaben kinembulan (satu untuk semua) mengandung beberapa kelemahan, antara lain: Pertama, sulit dilaksanakan di desa pakraman yang termasuk desa pakraman nyatur (terdiri dari empat kasta), dan belum ada persepsi yang sama mengenai perbedaan kasta, sehingga satu golongan merasa sebagai golongan bangsawan yang berkedudukan tinggi dan harus dihormati dan golongan lainnya dianggap sebagai rakyat biasa (panjak), berkedudukan rendah dan harus menghormati golongan bangsawan. Oleh karena itu maka kasta tertentu yang merasa berkedudukan lebih tinggi dari kasta yang lainnya, tidak rela bergerak seiring dan sejalan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi atas dasar semangat ”satu untuk semua” pada waktu melaksanakan upacara ngaben. Kedua, masih ada anggapan bahwa melaksanakan upacara ngaben merupakan satu-satunya cara untuk melaksanakan pitra yajnya dalam arti “membayar hutang” kepada leluhur. Anggapan ini menyebabkan banyak orang yang rela melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran, dengan cara menjual harta warisan yang berupa tanah. Mereka yang masih yakin akan hal ini menganggap melaksanakan upacara ngaben dengan cara “kinembulan” atau ”satu untuk semua”, sebagai sesuatu yang lebih rendah maknanya dibandingkan dengan ngaben niri.
Terlepas dari kelemahan dan kebaikannya, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa ngaben “kinembulen” akan menjadi pilihan terbaik untuk upacara ngaben masa depan. Selain itu perlu juga ditegaskan bahwa apa yang dikemukakan secara singkat tadi adalah pelaksanaan upacara ngaben dari sudut pandang adat
Upacara Pernikahan adat Yogyakarta
1. Nontoni
Nontoni adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan terkadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.
Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia.
Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah diantara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran.
2. Lamaran
Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu diantara pria dan wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa dirembug hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama.
Upacara lamaran: Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat orang pria. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain : Jadah, wajik, rengginan dan sebagainya. Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan
3. Peningsetan
Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin putri. Menurut tradisi peningset terdiri dari : Kain batik, bahan kebaya, semekan, perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon ( imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur . Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.
4. Upacara Tarub
Tarub adalah hiasan janur kuning ( daun kelapa yang masih muda ) yang dipasang tepi tratag yang terbuat dari bleketepe ( anyaman daun kelapa yang hijau ). Pemasangan tarub biasanya dipasang saat bersamaan dengan memandikan calon pengantin ( siraman, Jawa ) yaitu satu hari sebelum pernikahan itu dilaksanakan.
Untuk perlengkapan tarub selain janur kuning masih ada lagi antara lain yang disebut dengan tuwuhan. Adapun macamnya :
· Dua batang pohon pisang raja yang buahnya tua/matang.
· Dua janjang kelapa gading ( cengkir gading, Jawa )
· Dua untai padi yang sudah tua.
· Dua batang pohon tebu wulung ( tebu hitam ) yang lurus.
· Daun beringin secukupnya.
· Daun dadap srep.
Tuwuhan dan gegodongan ini dipasang di kiri pintu gerbang satu unit dan dikanan pintu gerbang satu unit ( bila selesai pisang dan kelapa bisa diperebutkan pada anak-anak ) Selain pemasangan tarub diatas masih delengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan sbb. (Ini merupakan petuah dan nasehat yang adi luhung, harapan serta do'a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ) yang dilambangkan melalui:
1. Pisang raja dan pisang pulut yang berjumlah genap.
2. Jajan pasar
3. Nasi liwet yang dileri lauk serundeng.
4. Kopi pahit, teh pahit, dan sebatang rokok.
5. Roti tawar.
6. Jadah bakar.
7.
8. Ketan, kolak, apem.
9. Tumpeng gundul
10. Nasi golong sejodo yang diberi lauk, dll.
Masih ada lagi petuah-petuah dan nasehat-nasehat yang dilambangkan melalui : Tumpeng kecil-kecil merah, putih,kuning, hitam, hijau, yang dilengkapi dengan buah-buahan, bunga telon, gocok mentah dan uang logam yang diwadahi diatas ancak yang ditaruh di:
1. Area sumur
2. Area memasak nasi
3. Tempat membuat minum
4. Tarub
5. Untuk menebus kembarmayang ( kaum )
6. Tempat penyiapan makanan yanh akan dihidangkan.
7. Jembatan
8. Prapatan.
5. Nyantri
Upacara nyantri adalah menitipkan calon pengantin pria kepada keluarga pengantin putri 1 sampai 2 hari sebelum pernikahan. Calon pengantin pria ini akan ditempat
6. Upacara Siraman
Siraman dari kata dasar siram ( Jawa ) yang berarti mandi. Yang dimaksud dengan siraman adalah memandikan calon pengantin yang mengandung arti membershkan diri agar menjadi suci dan murni. Bahan-bahan untuk upacara siraman :
· • Kembang setaman secukupnya
· •
· • Dua butir kelapa hijau yang tua yang masih ada sabutnya.
· • Kendi atai klenting
· • Tikar ukuran ½ meter persegi
· • Mori putih ½ meter persegi
· • Daun-daun : kluwih, koro, awar-awar, turi, dadap srep, alang-alang
· • Dlingo bengle
· •
· • Satu macam yuyu sekandang ( kain lurik tenun berwarna coklat ada garis-garis benang kuning)
· • Satu macam pulo watu (kain lurik berwarna putih lorek hitam), 1 helai letrek ( kain kuning), 1 helai jinggo (kain merah).
· • Sampo dari londo merang ( air dari merang yang dibakar didalam jembangan dari tanah liat kemudian saat merangnya habis terbakar segera apinya disiram air, air ini dinamakan air londo)
· • Asem, santan kanil, 2meter persegi mori, 1 helai kain nogosari, 1 helai kain grompol, 1 helai kain semen, 1 helai kain sidomukti atau kain sidoasih
· • Sabun dan handuk.
Saat akan melaksanakan siraman ada petuah-petuah dan nasehat serta doa-doa dan harapan yang di simbulkan dalam:
· • Tumpeng robyong
· • Tumpeng gundul
· • Nasi asrep-asrepan
· • Jajan pasar, pisang raja 1 sisir, pisang pulut 1 sisir, 7 macam jenang
· • Empluk kecil ( wadah dari tanah liat) yang diisi bumbu dapur dan sedikit beras
· • 1 butir telor ayam mentah
· • Juplak diisi minyak kelapa
· • 1 butir kelapa hijau tanpa sabut
· • Gula jawa 1 tangkep
· • 1 ekor ayam jantan
Untuk menjaga kesehatan calon pengantin supaya tidak kedinginan maka ditetapkan tujuh orang yang memandikan, tujuh sama dengan pitu ( Jawa ) yang berarti pitulung (Jawa) yang berarti pertolongan. Upacara siraman ini diakhiri oleh juru rias ( pemaes ) dengan memecah kendi dari tanah liat.
7. Midodareni
Midodareni berasal dari kata dasar widodari ( Jawa ) yang berarti bidadari yaitu putri dari sorga yang sangat cantik dan sangat harum baunya. Midodareni biasanya dilaksanakan antara jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 ini disebut juga sebagai malam midodareni, calon penganten tidak boleh tidur.
Saat akan melaksanakan midodaren ada petuah-petuah dan nasehat serta doa-doa dan harapan yang di simbulkan dalam:
· Sepasang kembarmayang ( dipasang di kamar pengantin )
· Sepasang klemuk ( periuk ) yang diisi dengan bumbu pawon, biji-bijian, empon-empon dan dua helai bangun tulak untuk menutup klemuk tadi
· Sepasang kendi yang diisi air suci yang cucuknya ditutup dengan daun dadap srep ( tulang daun/ tangkai daun ), Mayang jambe (buah pinang), daun sirih yang dihias dengan kapur.
· Baki yang berisi potongan daun pandan, parutan kencur,
Adapun dengan selesainya midodareni saat jam 24.00 calon pengantin dan keluarganya bisa makan hidangan yang terdiri dari :
· Nasi gurih
· Sepasang ayam yang dimasak lembaran ( ingkung, Jawa )
· Sambel pecel, sambel pencok, lalapan
· Krecek
· Roti tawar, gula jawa
· Kopi pahit dan teh pahit
· Rujak degan
· Dengan lampu juplak minyak kelapa untuk penerangan ( jaman dulu)
8. Upacara Langkahan
Langkahan berasal dari kata dasar langkah (Jawa) yang berarti lompat, upacara langkahan disini dimaksudkan apabila pengantin menikah mendahului kakaknya yang belum nikah , maka sebelum akad nikah dimulai maka calon pengantin diwajibkan minta izin kepada kakak yang dilangkahi.
9. Upacara Ijab
Ijab atau ijab
10. Upacara Panggih
Panggih ( Jawa ) berarti bertemu, setelah upacara akad nikah selesai baru upacara panggih bisa dilaksanaakan,. Pengantin pria kembali ketempat penantiannya, sedang pengantin putri kembali ke kamar pengantin. Setelah semuanya siap maka upacara panggih dapat segera dimulai.
Untuk melengkapi upacara panggih tersebut sesuai dengan busana
1. Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan penantin pria
2. Gending Ladrang Pengantin untuk mengiringi upacara panggih mulai dari balangan ( saling melempar ) sirih, wijik ( pengantin putri mencuci kaki pengantin pria ), pecah telor oleh pemaes.
3. Gending Boyong/Gending Puspowarno untuk mengiringi
Setelah upacara panggih selesai dapat diiringi dengan gending Sriwidodo atau gending Sriwilujeng.
Pada waktu kirab diiringi gending : Gatibrongta, atau Gari padasih.
Gerebek keraton SurakartaGrebeg Mulud
Diselenggarakan pada tahun Dal (8 tahun sekali) Grebeg dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon, selanjutnya pada hari Ahad (minggu) Paing +/- 24 BBWI ISKS Pakoeboewono sekalian GK. Ratu Alit di Pawon atau dapur “Gondorasan:” untuk “adang” atau menanak nasi.
Grebeg Pasa
Tatacara yang dilaksanakan adalah Abdidalem “Pareden” atau gunungan 1 rakit atau 2 buah diarak menuju Masjid Ageng Karaton oleh para Abdidalem dan prajurit Karaton sebanyak 4 pleton. Selesai didoakan di masjid dibagi seperti Grebeg Mulud.
Grebeg Besar
Tatacara yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1). Penyerahan kelengkapan “Jamasan Pusaka” atau minyak untuk membersihkan pusaka diterimakan kepada sesepuh Kadilangu (Ahli waris Sunan Kalijaga). Minyak diserahkan, yaitu lisah sepuh, lisah cendana dan kembang.
2). Dikeluarkannya ajad dalem “Pareden”atau gunungan pada +/- jam 10.00 WIB. Tatacara yang dilaksanakan adalah seperti pada Grebeg Pasa
Dari ketiga jenis Grebeg tersebut, Grebeg Muludlah yang prospeknya cerah dan banyak mengundang para pengunjung, oleh karena itu akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut.
Setelah perayaan sekaten berlangsung 7 hari, maka tepat tanggal 12 Rabiulawal, yakni hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, diadakan upacara selamatan dengan sesaji “Gunungan” yang diselenggarakan oleh Sinuhun Paku Buwana. Puncak perayaan sekaten itu berbarengan dengan Grebeg Mulud Nabi, serta dipusatkan di Masjid Agung yang terletak di sebelah barat Alun-Alun utara.
Peresmian selamatan ini dimulai dengan pasewakan, Ingkang Sinuhun memerintahkan Pepatih Dalem untuk menyampaikan perintah kepada Kyai Penghulu Tapsiranom agar memimpin upacara selamatan Mulud Nabi Muhammad SAW serta membacakan doa seperlunya. Perjalanan rombongan pembawa sesaji “gunungan” dari Karaton serta didahuluioleh tarian. Ini dilakukan oleh para Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan iman Pepatih dalem di dalam mengemban perintah Ingkang Sinuhun. Kalau dalam menjalankan tugas tertawa itu tandanya masih bisa tergoda.
Tentang sesaji gunungan ini KGPH Hadiwijaya menjelaskan sebagai berikut: Gunungan (asal kata gunung) itu terdiri dari 24 jodang besar, yaitu 12 buah jodang gunungan laki-laki dan 12 buah jodang gunungan perempuan. Disela-sela itu terdapat anak-anak (saradan) dan 24 buah ancak-canthaka.
Gunung laki-laki yang berbentuk tumpengan , lingga atau meru itu tingginya melebihi tinggi ornag berdiri, dipundaknya ditaruh ento-ento (sejenis makanan yang bentuknya bulat) sebanyak 4 buah dan diatasnya 1 buah. Ini melambangkan rasa sejati, perlambang yang dapat kita saksikan pada tugu batu dari candi Sukuh (Sukuh, Tawangmangu) yang kini ditancapkan bendera kecil gula klapa (putih merah) yang dibalik, yang juga melambangkan laki-laki perempuan.
Gunungan bentuknya seperti tubuh gender ialah yoni. Oleh sebab itu dinamakan “gegenderan”. Segala sesuatu tidak berbeda dengan gunungan laki-laki di atas. Antara gunungan laki-laki tersebut terdapat anak-anakan yang dinamakan “saradan”
Jodhang yang dipergunakan untuk mengusung gunungan tersebut diberi hiasan yang mengandung makna tersendiri, serta mempunyai arti simbolis, antara laindiberi kampuh (penutup dari setengah tingginya ke bawah) berupa kain ‘bangotulak’ ynag indah, megah dan berwibawa itu.
Untuk keperluan sehari-hari pada sesaji/selamatan lazim kita jumpai jenang putih merah, tidak boleh keliru putihnya harus ditaruh di atas yang merah. Inipun melambangkan laki-laki perempuan, seperti yang terkandung dalam simbolgula – klapa yang dibalik, putihnya di atas merahnya di bawah.
Tentang ancak-canthoka yang berjumlah 24 itu bentuknya menyerupai kodhok (katak), diberi wadah besi tertutup dari kuningan.
Dalam iring-iringan dari halaman Kamandungan menuju Masjid Besar, berjalan paling depan gunungan laki-laki berselang dengan gunungan perempuan, sedang diantaranya terdapat anak-anak (saradan). Di belakangnya adalah ancak-canthoka dalam formasi berjajar dua-dua. Perjalan diapit oleh abdidalem panewu mantri. Dibelakang sendiri berjalan seorang Bupati Pangreh Praja sebagai penutupnya.
Iring-iringan gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di Sitinggil, lewat alun-alun utara dan seterusnya menuju masjid Besar. Perjalanan iring-iringan sesaji gunungan tersebut mendapat penghormatan gending Mungga. Sesampainya pada rombongan ancak-canthoka gending berubah menjadi kodhok ngorek.
Selanjutnya mengenai jum`lah (hitungan)
Setelah rombongan sampai di serambi Masjid Besar maka Pepatih Dalem memberitahukan hajat Ingkang Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsiranom serta minta dibacakan doa menurut semestinya. Kyai penghulu Tafsiranom menerima penyerahan itu selanjutnya memimpin jalannya upara sampai selesai. Kemudian sesudah upacara selesai, maka gunungan dan tumpeng sewu dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Ingkang Sinuhun dan para pembesar yang dianggap perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar